EPISTEMOLOGI
A. Latar Belakang
Masalah epistemologi bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana
apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada
akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai
suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan
batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak
dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff,2004 )
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub
sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga
ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas
tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin
dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang
dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori
tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek
yang dipikirkan itu. Oleh
karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai
dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana
dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara
memikirkannnya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).
Demikian juga, setiap jenis
pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi) dan
untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling
berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi
ilmu, epistemologi ilmu terkait
dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus
dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin
bahasan epistemologi terlepas
sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model
berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti
juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu
sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari
yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita renungkan
bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan cara-cara
berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak diperoleh
pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-cara
juga adam tetapi tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu
yang dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya adalah
interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).
Namun demikian, ketika kita
membicarakan epistemologi
disini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau
langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan
perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang
paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan
aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari pengertian,
ruang lingkup, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi
B. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah
epistemologi digunakan pertama
kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi ternyata
menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian
yang tidak mudah dipahami. pengertian epistemologi
ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang
yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang
berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik
sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang
melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun,
selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini
berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya,
seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara
mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah
memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar,
gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar,
cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap
substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan
selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung
dalam definisi (pengertian). Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap
substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian
epistemologi yang diungkapkan
para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi
berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Epistemologi dapat didefinisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya
ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi
adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a
priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori
(pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William
S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat
pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Inti pemahaman dari
kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama
menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang
hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan.
Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat
pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan
pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya
melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme. Selanjutnya,
pengertian epistemologi yang
lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert
D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan
validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut,
tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut,
tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah
dipahami.
C. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.
Bertolak dari pengertian-
pengertian epistemologi
tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau
ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi
pemahaman tentang ruang lingkup epistemologi
sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya didasarkan pada rincian
aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemologi
daripada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada
baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang
lingkup epistemologi, sebab
pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin komprehensif dan
utuh (holistik) mengenai ruang lingkup pemabahasan epistemologi.
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber
dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu
hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M
Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi
mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat
menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. Jadi
meskipun epistemologi itu
merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas sekali. Jika kita
memaduakan rincian aspek-aspek epistemologi,
sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi,
hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validias, unsur, macam, tumpuan,
batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan skope
pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas
kewibaan orang yang memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia sebenarnya merupakan doktrin tentang
psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh permasalahan yang berkaitan dengan
pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher
secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan
mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang
diketahui dibidang tertentu. Filsafat merupakan refleksi, dan refleksi selalu
bersifat kritis, maka tidak mungkin seserorang memiliki suatu metafisika yang
tidak sekaligus merupakan epistemologi
dari metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemologi dari sains. Epistemologi senantiasa “mengawali”
dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi itu dicoba untuk
digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi,
melainkan bisa juga sebaliknya, ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya,
seperti psikologi selalu diiringi oleh epistemologi.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya
aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga
mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan
aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Semestinya
harus ada pergeseran pusat perhatian pembahasan ke arah aspek-aspek yang
terabaikan itu, agar dapat menyajikan pembahasan terhadap aspek-aspek epistemologi seluruhnya secara
proporsional. Lebih dari itu, perubahan kecenderungan pembahasan tersebut dapat
memperkenalkan pengetahuan yang makin luas dan mendalam tentang cakupan epistemologi.
Kenyataannya,
saat ini literatur-literatur filsafat masih terjadi pemusatan perhatian pada
aspek-aspek tertentu saja. Aspek-aspek itu berkisar pada sumber pengetahuan,
dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas
pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara
konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk
pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan
epistemologi, atau
setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan
sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada
sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi
sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung
menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek
pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa
berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal
sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya
jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas.
Namun,
penyederhanaan makna epistemologi
itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk
mengenali sistematika filsafat, khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan
pemahaman epistemologi, tentunya
tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi
sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi
dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait
langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
D. OBJEK DAN
TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek
disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat,
sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran,
sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi objek dan
tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat diperoleh,
jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi bertujuan
membunuh perampok yang melakukan perlawanan, ketika akan ditangkap dengan
menambak kepalanya sebagai sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan,
sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu, pembunuhan sebagai tujuan
polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok
sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya melalui menembak
kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam satu tujuan
bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.
Sebaliknya,
mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak.
Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia misalnya,
sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan
bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi,
antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik
tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini,
justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di
kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya
bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda.
Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan
bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang. Aktivitas berfikir dalam
kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong
pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua
(satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil
yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing
pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan
pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk
mewujudkan keinginan pemikirnya. Dalam filsafat terdapat objek material dan
objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar
meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek
formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai
ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan
yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun
S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang
menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang
harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan
bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak
terarah sama sekali.
Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi
tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan
saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan
ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari
itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Rumusan tujuan epistemologi
tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut
menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar
memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh
pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif,
sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi
pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang
yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi
seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru
dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 =
6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa yang cerdas tidak
pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya,
dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan
menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa
benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka
lainnya. Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi
pembuka terhadap pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya.
Proses ini bisa diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi
tahu bahwa di dalam gudang terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap
hanya apriori semata, karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya,
maka gudang itu akan segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu
barang-barang yang ada didalamnya. Dengan demikina, seseorang tidak sekedar
mengetahuai sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu
berdasarkan pembuktian melalui proses itu. Penguasaan terhadap proses tersebut
berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran seseorang secara komprehensif dan
utuh, termasuk juga ide, gagasa, konsep dan teorinya, sebab tidak ada pemikiran
yang terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan yang mendasarinya. Dalam
kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan pemikiran
seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses terjadinya pemikiran itu.
Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun motif-motif yang
mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum dikenali, maka acapkali
seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang lain. Sebaliknya, jika
seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor, alasan dan motif tersebut,
maka dia akan mampu mengenali pemikiran orang lain dengan baik, sehingga dia
dapat memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu maupun komponen yang lain
sesungguhnya termasuk dalam mata rantai proses sebuah pemikiran.
E. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat
penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan
pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan
pengetahuan bagaikan bangunan rumah, sedangkan landasan bagaikan fundamennya.
Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya.
Demikian juga dengan epistemologi,
akan dipengaruhi atau tergantung landasannya. Di dalam filsafat pengetahuan,
semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode
ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.
Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan
menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu
pengetahuan. Begitu pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga
banyak pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku
dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa
metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode. Sikap ini
mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai begitu tinggi terhadap
metode ilmiah, tanpa menyadari semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari
sains untuk mengukuhkan objektivitas dalam memahami sesuatu. Sesungguhnya sikap
berlebihan itu memang riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang seharusnya
tidak perlu terjadi, yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan
pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu. Disini
perlu dibedakan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan
adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan
ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode
ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif,
logis dan empiris. Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan
tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu
pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini
sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan
biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada
bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga
sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan
istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang
menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar
sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan
sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran
transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa
tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode
ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur
kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi
tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk
wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integrative.
F. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI,
METODE DAN METODOLOGI
Selanjutnya perlu
ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui
kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan
sehari-hari sering dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan
epistemologi. Untuk
mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya perlu memahami
terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan ada upaya
ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji”.
Lebih jauh lagi
Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang
mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan
prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai
secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi
dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
metode.
Metodologi membahas konsep teoritik
dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan
dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian
mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian.
Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan
seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula
yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar
memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme,
sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu
yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan
paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga
menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu
metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam
wilayah epistemologi.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan
urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan
merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub
sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari
filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi,
epistemologi mencakup bahasan
metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode
merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu
aspek yang tercakup dalam epistemologi.
Adapun epistemologi merupakan
bagian dari filsafat.
Posisi masing-masing istilah ini,
seperti lingkaran besar yang melingkari lingkaran kecil, dan dalam lingkaran
kecil masih terdapat lingkaran yang lebih kecil lagi. Lingkaran besar disini
diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa epistemologi, dan lingkaran yang lebih kecil kecuali berupa
metodologi. Ini berarti bahwa filsafat mencakup bahasan epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak hanya epistemologi karena masih ada bahasan
lain, yaitu ontologi dan aksiologi. Demikian juga epistemologi mencakup bahasan metode (metodologi), namun bahasan epistemologi bukan hanya metode
semata-mata, karena ada bahasan lain, seperti: hakikat, sumber, struktur,
validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran dan dasar pengetahuan. Untuk
lebih jelas lagi perlu dibedakan adanya metode pengetahuan dan metode
penelitian, kendatipun tidak bisa dipisahkan. Metode pengetahuan berada dalam
dataran filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada dalam dataran
teknis.
Dalam filsafat, istilah metodologi
berkaitan dengan praktek epistemologi.
Secara lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi
kajian utama cabang epistemologi
yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata
pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan. Kemudian berbicara tentang metodologi yang berarti berbicara
tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan oleh manusia untuk mencapai
pengetahuan tentang realita atau kebenaran, baik dalam aspek parsial atau
total. Lebih jelas lagi, bahwa seseorang yang sedang mempertimbangkan
penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus
mengacu pada metodologi, mengingat pembahasan tentang seluk-beluk metode itu
ada pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan
konseptual dan teoritis terhadap metode.
G. HAKIKAT EPISTEMOLOGI
Pembahasan tentang
hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena ita tidak bisa menangkapnya, kecuali
ciri-cirinya. Apalagi hakikat epistemologi,
tentu lebih sulit lagi. Epistemologi
berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang
pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa
yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah
sentral epistemologi, tetapi
masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan
yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam
kajian psikologi. Sebab epistemologi
itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind.
Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan
dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi
secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada
satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran
manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian
jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu,
maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia,
terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari
hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin
ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu,
epistemologi lebih berkaitan
dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru
karena epistemologi menjadi ilmu
dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan
dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui
perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan
padangan tentang eksistensi epistemologi
ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan
Thomas C.Hunt yang menilai, epistemologi
keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu
bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri,
sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu,
pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan
ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu
saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap
pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.
Luasnya
jangkauan epistemologi ini
menyebabkan objek pembahasannya sangat detail dan pelik. Metodologi misalnya telah digabungan secara
teliti dengan epistemologi dan
logika. Sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika
itu bagian dari epistemologi,
diluar epistemologi sama sekali,
atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi. Ada yang menyatakan, bahwa posisi logika berada
diluar ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Di samping itu, epistemologi
tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi
dan aksiologi. Menurut, Jujun S. Suriasumatri, bahwa persoalan utama yang
dihadapi oleh tiap epistemologi
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dalam
pemahaman yang sederhana epistemologi
memiliki interrelasi (saling berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan
aksiologi).
Selanjutnya, epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti
sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa
yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang
mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih
baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa
dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak
semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu
yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu
diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang
benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan
arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu
dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti
dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak
dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia
menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan
pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan
pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan
kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola
berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang
menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan
berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam
melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat
pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu
justru merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya
merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris.
Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk
menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi
ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran
dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi
adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan
kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi
berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir
empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan
deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua
macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan
pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan
dari epistemologi yang sama-sama
berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif
dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih
mencerminkan esensi dari epistemologi.
Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan
kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius.
H. PENGARUH EPISTEMOLOGI
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan
ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis
prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu
pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang
berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus,
sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau
disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu
pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu
bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan
dianggap benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan
oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu
pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur
ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi
dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah.
Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah
menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya,
epistemologi bisa menentukan
cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang
kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang
tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak
konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari
pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara
memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis
terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya
sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk
menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang
maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi
bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik
eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong
dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya. Dinamika
pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik
yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa
keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan
epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman
pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman
pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang
ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang
berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran
itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada
perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak
dari epistemologinya
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap
peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori
pengetahuannya. Epistemologi mengatur
semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang
memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu
kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari
keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan
kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara,
karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena
alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam
merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi.
Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi
ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk
selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru.
Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara
epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana
cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk
mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan
sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu
dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik
kegagalan itu ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya.
Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan
mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan pengetahuan,
kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya
ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an
apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah
proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal
dengan epistemologi. Berdasarkan
pada manfaat epistemologi dalam
mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin,
melainkan mutlak perlu dikuasai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar