Aswaja Dari Teologi Sampai Ideologi Gerakan
Sebagaimana
aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan
aliran yang holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas
(ontology), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai
(aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang
dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran
mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang,
pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara
pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai
landasan berpikir, bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis
merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan
batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin
keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh kanem itu dalam pengertian
kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah
dikembangkan sebagai ideologi pembaruan social.
Walaupun
Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan
kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang
membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka
klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1) misalnya,
walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup
bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain
kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalarn sistem Aswaja
yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa
filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya. Semuanya
itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.
Upaya
menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan
yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam
Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang diarahkan pada
Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama NU yang berusaha
mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi usaha ini banyak
mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari konsep lama yang
melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3)
Kemudian juga dalam buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4) yang hampir
mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya kerangka
filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja di bidang
keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara logis,
karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul Hadi
al Misri,(5)
sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia
gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer,
akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan
akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka
ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang
cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di
berbagai kitab sehingga perlu perhatian khusus untuk memahaminya.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja
merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap
serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan
masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah
pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana
ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan
reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat
manusia dewasa ini.
Gerakan
Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin,
tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia
Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan
eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di
situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan berusaha
menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah) sementara
Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa disadari
menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran lain
sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap
kejamaahan (inklusif), rnaka sikap najiah
bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini
mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang
mengeksklusi pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan
berpegang pada prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan
menjadikan mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.
Selanjutnya
juga terjadi perubahan yang mendasar dengan penegasan bahwa kalau selama ini
ham menekankan pada prinsip harmoni. maka Aswaja lebih pro kekuaan
termasuk kekuasaan represif. seperti kata sebuah doktrin bahwa barang
siapa yang menyaksikan penyirnpangan pemerintahan, hendaklah bersabar
sebab seseorang yang sejengkal saja memisahkan diri dari
Jam'iah (lingkungan) pemeritahan tersebut, maka ia tergolong orang
jahiliyah dan banyak ajaran serupa.
Sementara
gerakan Aswaja sekarang ini lebih menekankan pada prinsip keadilan, sejalan
dengan problem yang dihadapai masyarakat saat ini, karena itu Aswaja lebih
diorientasikan pada penderitaan masyarakat tertindas. Dari situ kemudian Aswaja
di break down
menjadi ideologi emansipasi, bagi rakyat tertindas dan terperas. Kemudian
sebagai kepedulian terhadap persaudaraaan manusia universal, maka menolak
doktrin najiyah yang aksklusif, kemudian mengembangkan doktrin jamaah yang
inklusif. Dengan demikian Aswaja menjadi ideologi yang toleran dan benar-benar
menghargai pluralitas yang hidup di lingkungan masyarakat dewasa ini
Elaborasi
konsep jamaah ini merupakan tindakan revolusioner karena yang dimaksud jamaah
tidak hanya sawadil a'dlham (mayoritas urnat) terutama elite ulama atau
intelektualnya yang ada seperti Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya.
Jamaah yang dikembangkan dalam pengertian baru ini mencakup keseluruhan
pemikiran kontemporer yang dipandang maslahah (relevan) dengan gerakan
penegakan keadilan dan emansiapasi sosial. Maka untuk membongkar stuktur
penindasan dan pola eksploitasi yang berkembang dewasa ini, maka Aswaja
menggunakan teori sosial yang ada baik teori strukturalisme, teori kritis dan
sebagainya. Kalau teori modernisasi bermotif untuk mendominasi, maka teori
kritis ini bertujuan melakukan emansipasi, karena itu teori yang belakangan ini
banyak digunakan kalangan NU dalam menjalankan aktivitas pemikiran dan sebagai
sarana gerakan pembaruan sosial.
Perubahan
orientasi bagi suatu mazhab atau aliran itu sangat wajar, di tengah perubahan
zaman, hampir semua mazhab, aliran pemikiran mengalaminya. Hal itu ditempuh
agar pemikiran tersebut terus relevan dan semakin besar. Mungkin bagi kelompok
tekstualis hal itu dianggap bid'ah karena harrifunal kalima 'an ina,radhi 'ihi
mengubah format ajaran dianggap sesat dan kesalahan besar. Tetapi perubahan ini
oleh kalangan pembaru termasuk pembaru Aswaja dianggap sebagai keharusan agar
Aswaja tidak kehilangan relevansi dap mampu mengemban tugas profetiknya, untuk
mengemansipasi rakyat dari berbagai macam kesulitan, agar hidup mereka
sejahtera, dengan demikian Aswaja menjadi ajaran yang hidup, bukan sekadar
warisan sejarah.
Tafsiran
atas setiap ajaran, mazhab dan aliran, bukanlah monopoli generasi pendirinya,
melainkan milik generasi di masing-masing zaman, karena itu setiap generasi
berhak memformat gagasan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya. Maka
bisa kita rumuskan bahawa Aswaja sekarang ini adalah apa yang sudah kita
rumuskan dan praktekkan selama ini (ma ana `alaihi wa ash-habi) artinya tidak
hanya apa yangdilakukan nabi dan sahabat, tetapi termasuk apa yang kita
upayakan bersama, hanya saja masih butuh reformulasi lebih matang dan butuh
artikulasi lebih mendalam, agar sosoknya semakin kelihatan. Prinsip ini juga
mengandaikan adanya reformulasi yang terus menerus, pada setiap generasi.
Karena
Aswaja lahir dari pergumulan sosial, maka sikap kerakyatan menjadi orientasi
gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang mereka jalankan. Situasi politik dan
sosial sejak zaman orde baru hingga masa reformasi ini banyak mengalami
perubahan, tetapi tidak mengarah pada perbaikan yang membawa keuntungan bagi
rakyat, baik bidang politik apalagi dalam bidang ekonomi yang semakin melemah.
Reformasi hanya membawa perubahan artifisial, hanya mengganti aktor, tetapi
tidak mengubah struktur politik lama, banya perbaikan secara tambal sulam,
itupun dilakukan kelmpok lama yang ingin melindungi keselamatan dirinya. Format
negara juga belum diubah, sehingga power relation (relasi kuasa) yang lama
masih terus berjalan, yang menempatkan pernerintah atau negara sebagai peneritu
segala kebijakan, sementara rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tiidak
mendapatkan akses kekuasaan. Sementara kalangan elite masih mendminasi
kekuasaan baik dalam membuat peraturan dan menentukan arah kebijakan poltik dan
ekonomi. Persentuhan dengan persoalan nil itulah sang mendorong kalangan NU
merumuskan Aswaja yang selarna ini dihayati sebagai landasan Akidah itu.
menjadi ideologi perjuangan untuk memperbaiki struktur sosial. Gerakan ini
semakin menemukan relevansinya ketika ekspansi kapitalisme global semakin agresif,
sehingga menggasak sumber-sumber kemakmuran rakyat kecil hingga ke pelosok
desa, ini yang dialami oleh pengerak Aswaja yang mendampingi rakyat di
desa-desa.
Ketika
politik tidak lagi beorientasi kerakyatan, seperti sekarang ini, maka dengan
sendirinya seluruh kebijakan, terutama kebijakan ekonomi dan politik yang
dihasilkan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Ketika harus merespon
kebijakan free market (pasar bebas) yang dipropagandakan kapitalisme global
melalui World Bank, IMF dalam bentuk WTO, Apec dan sebagainya, maka dengan
mudah politik yang elitis ini merespon gagasan liberalisme yang lagi trendy itu
agar dianggap sebagai negara modern. Padahal kebijakan tersebut secara total
membabat potensi ekonomi rakyat. Terbukti saat ini ekonomi rakyat baik di
sektor pertanian, perdagangan dan kerajinan, disapu bersih oleh produk asing
yang mulai dipasarkan secara bebas, sementara rakyat tidak mendapatkan
perlindungan dari negara dari ancaman yang mematikan itu.
Pola-pola
pendampingan rakyat yang dilakukan oleh kalangan Aswaja yang berorientasi
kerakyatan seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis sosial NU, baik yang
bergerak dalam bidang pemikiran maupun pengembangan masyarakat, walaupun belum
mampu menandingi gencarnya ekspansi kapitalisme neo liberal yang difasilitasi
oleh rezim yang berkuasa. kalangan akademisi di kampus dan didukung beberapa
kelompok studi ini. tetapi pendampingan rakyat semacam itu sementara mampu
melindungi rakyat dari eksploitasi dan intervensi yang lebih parah dari
kapitalisme global. Dengan advokasi yang gigih itu setidaknya rakyat mampu
mernbela diri dan rnemperjuangkan hak-hak minimal mereka. Maka diperlukan
sistem politik dan ekonomi yang memberikan akses bagi kemakmuran rakyat.
Bila
prinsip dan langkah tersebut dijalankan maka Aswaja akan menjadi ajaran Islam
semakin meyakinkan, tetapi sekaligus menjadi ideologi pergerakan yang relevan,
yang tidak hanva menangani bidang kerohanian kehidupan manusia tetapi juga
peduli terhadap persoalan kultural yang dihadapi rakvat dan juga peduli
terhadap perluma penguatan basis material masvarakat Dengan demikian aswaja
bukan hanya menjadi perbincangan akademis, tetapi bisa dijadikan pegangan
kalangan aktivis pergerakan vang hidup di tengah masyarakat. Formulasi Aswaja
seperti ini yang memungkinkan Aswaja bisa berjalan seiring dengan ideologi
gerakan yang lain, tanpa harus saling mengekslusif, sebaliknya saling
menginklusi, karena orientasi dan kepeduliannya sama yaitu melakukan emansipasi
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar