Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

MAKALAH PKN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
            Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar Negara republik Indonesia, pada hakikatnya pancasila mengandung dua pengertian pokok sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan sebagai dasar Negara rebupublik Indonesia. Dalam pengajaran pancasila telah di sebutkan bahwa pancasila telah ada berbarengan dengan lahirnya bangsa Indonesia sejarah mengungkapkan bahwa sebelum tumbuh kerajaan besar di bumi nusantara ada bayak kerajaan yang diantaranya adalah majapahit di jawa timur pada abad VII-XVI dan kerajaan sriwijaya di Sumatra pada abad VII-XII. Seperti adanya kepercayaan manusia terhadap ahaalam ghoib, baik pemujaan terhadap roh-roh yang bercirikan animisme dan dinamisme maupun kehidupan manusia yang toleransi yang di ungkapkan dalam istilah gemah rifah loh jinawi tata tentrem kerta raharja atau dengan sebutan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila istiliah pancasila semasa berdirinya kerajaan majapahit dan dilukiskan dalam tulisan empu prapanca tentang Negara kertagama dan empu tantular dalam buku sutasoma. Dan dalam nya terdapat istilah pancasila karma dan di dalam nya mempunyai arti lima dasar tingkah laku atau perintah kesusilaan yang lima meliputi pertama tidak boleh melakukan kekerasan ( AHIMSA ), yang kedua tidak boleh mencuri ( ASTEYA ), yang ketiga tidak boleh berjiwa dengki (INDRIYA NIGRAHA), yang ke empat tidak boleh berbohong (AMRSAWADA), yang ke lima tidak boleh mabuk minuman keras ( DAMA ) selain itu kitab sutasoma terdapat semboyan bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrua yang mengandung arti meskipun agama itu berbeda bentuk atau sifatnya tapi hakikatnya tetap satu juga itulah motto lambing Negara kita. Seiring dengan perubahan system pemerintahan yang menjadi sebuah Negara, pancasila mulai di runutkan sehingga disepakati bahwa ada lima poin yang di tuangkan. Pancasila di ambil dari dua kata bahasa jawa kuno yang perta panca artinya  adalah lima, dan sila artinya prinsip – prinsip ini terdiri dari lima prinsip di anggap tidak dapat terpisahkan dan saling terkait :
1. kepercayaan kepada Allah satu – satunya ( dalam bahasa Indonesia Yang Maha Esa ketuhanan )
2. kemanusiaan yang adil dan beradab ( kemanusian dan beradab )
3. persatuan Indonesia
4. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ( demokrasi yang di pimpin oleh kebijaksanaan dalam kebulatan suara yang timbul dari musyawarah antara perwakilan )
5. keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia


1.2 Makna sila – sila pancasila
Arti dan makna sila ketuhanan yang maha esa
Mengandung arti adanya kuasa yang dominan (yang mendasar) yaitu ketuhanan yang maha esa, menjamin penduduk untuk memeluk agama nya masing – masing dan beribadah menurut agamanya, tidak memaksa warga negara untuk beragama, menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut kepercayaan agama masing – masing, Negara memberikan fasilitator dan tumbuh kembang nya agama dan iman warga Negara dan mediator ketika terjadi konplik agama.
Arti dan makna sila kemanusiaan yang adil dan beradab
Menempatkan manusia sesuai hakikatnya sebagai makhluk tuhan, menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak sebagai bangsa, mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
Arti dan makna sila persatuan Indonesia
Nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air, menggalang kesatuan dan persatuan bangsa, menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekerasan dan medebatkan perbedaan warna kulit, menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan, mengandung arti adanya kekuatan dominan ( yang mendasar ) yaitu ketuhanan yang maha esa, menjamin penduduk untuk memeluk agama nya sesuai dengan kepercayaan yang di anut, tidak memaksa warga untuk memeluk agama, menjamin berkembang dan tumbuh suburnya keagamaan.
Arti dan makna sila kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Hakikat sila ini adalah Demokrasi, permusyawaratan artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat baru sesudah itu di adakan tindakan bersama, di dalam memutuskan di perlukan keputusan dan kejujuran bersama
Arti dan makna sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat, seluruh kekayaan alam dan sebagainya di gunakan untuk kepentingan bersama menurut potensi masing – masing, melidungi kelompok warga yang lemah agar masyarakat dapat bekerja sesuai dengan kemampuan dan bidangnya.
1.3 Sikap positif terhadap nilai – nilai pancasila
Nilai pancasila telah di yakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia oleh karena itu mengamalkan nya adalah suatu keharusan bagi bangsa Indonesia.
Sikap positif dalam mengamalkan nilai – nilai pancasila
Menghormati anggota keluarga, menghormati orang yang lebih tua, membiasakan hidup hemat, tidak membeda‑bedakan teman, membiasakan musyawarah untuk mufakat,  menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing‑ masing, membantu orang lain sesuai dengan kemampuan sendiri














BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan masalah
2.2 Tinjauan historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini, pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih ‘alamiah’. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan yang utuh.
Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara ‘lebih singkat’ menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
2.3 Tinjauan yuridis-konstitusional
Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo (1984) bahwa secara yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur-menyelenggarakan pemerintahan negara. … Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia ‘tunduk’ kepada Pancasila sebagai ‘kekuasaan’ tertinggi.
Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undang-undang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “… tetapi sejauh mungkin juga selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya …” sedemikian rupa sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran, pelaksanaan, penerapan Pancasila.
Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/ memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.
2.4 Tinjauan tentang sifat dasar Pancasila
Secara yuridis konstitusional, Pancasila adalah dasar negara. Namun secara multidimensiona, ia memiliki berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan esensi dan eksistensinya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia; 4 ) Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia pada waktu mendirikan Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia; 8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia.
Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena mengandung nilai-nilai universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman fungsi Pancasila tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh bangsa Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau philosophische gronslaag negara dan atau ideologi negara/ staatside).
Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur melaksanakan serta mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu mewaspadai kemungkinan berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila yang direkayasa demi kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo berdasarkan pengalaman sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “… dalam mencari kebenaran Pancasila sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system tidaklah perlu sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan apalagi perpecahan.”









BAB III
KESIMPULAN
3.1 PANCASIL SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA
3.2 Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harafiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau cita-cita. Cita-cita yang dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan harus dapat dicapai sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan dasar, pandangan, paham.
Ideologi yang semula berarti gagasan, ide, cita-cita itu berkembang menjadi suatu paham mengenai seperangkat nilai atau pemikiran yang oleh seseorang atau sekelompok orang menjadi suatu pegangan hidup.
Beberapa pengertian ideologi:
§ A.S. Hornby mengatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.
§ Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan, dan agama.
§ Gunawan Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
§ Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
§ Ideologi tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya: merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat; atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat; isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak.
§ Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua, yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka.
Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan UUD 1945: “terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya
3.3 Sifat Ideologi
Ada tiga dimensi sifat ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas.

1.      Dimensi Realitas: nilai yang terkandung dalam dirinya, bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir, sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama. Pancasila mengandung sifat dimensi realitas ini dalam dirinya.
2.      Dimensi idealisme: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin diicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan saja memenuhi dimensi idealisme ini tetapi juga berkaitan dengan dimensi realitas.
3.      Dimensi fleksibilitas: ideologi itu memberikan penyegaran, memelihara dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu sehingga bebrsifat dinamis, demokrastis. Pancasila memiliki dimensi fleksibilitas karena memelihara, memperkuat relevansinya dari masa ke masa.
3.4 Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
 1. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang      berkembang secara cepat.
 2. Kenyataan menujukkan bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku      cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
 3. Pengalaman sejarah politik masa lampau.
 4. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat      abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai      tujuan nasional.
3.5 Sekalipun Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka, namun ada batas-batas keterbukaan                   yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
1. Stabilitas nasional yang dinamis
2. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninnisme dan komunisme
3. Mencegah berkembangnya paham liberalisme
4. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan bermasyarakat
5. Penciptaan norma-norma baru harus melalui konsensus.
3.6 Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
1. Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang      terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan.
2. Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar