BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar Negara
republik Indonesia, pada hakikatnya pancasila mengandung dua pengertian pokok
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan sebagai dasar Negara rebupublik
Indonesia. Dalam pengajaran pancasila telah di sebutkan bahwa pancasila telah
ada berbarengan dengan lahirnya bangsa Indonesia sejarah mengungkapkan bahwa
sebelum tumbuh kerajaan besar di bumi nusantara ada bayak kerajaan yang
diantaranya adalah majapahit di jawa timur pada abad VII-XVI dan kerajaan
sriwijaya di Sumatra pada abad VII-XII. Seperti adanya kepercayaan manusia
terhadap ahaalam ghoib, baik pemujaan terhadap roh-roh yang bercirikan animisme
dan dinamisme maupun kehidupan manusia yang toleransi yang di ungkapkan dalam
istilah gemah rifah loh jinawi tata tentrem kerta raharja atau dengan sebutan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila istiliah pancasila semasa
berdirinya kerajaan majapahit dan dilukiskan dalam tulisan empu prapanca
tentang Negara kertagama dan empu tantular dalam buku sutasoma. Dan dalam nya
terdapat istilah pancasila karma dan di dalam nya mempunyai arti lima dasar
tingkah laku atau perintah kesusilaan yang lima meliputi pertama tidak boleh
melakukan kekerasan ( AHIMSA ), yang kedua tidak boleh mencuri ( ASTEYA ), yang
ketiga tidak boleh berjiwa dengki (INDRIYA NIGRAHA), yang ke empat tidak boleh
berbohong (AMRSAWADA), yang ke lima tidak boleh mabuk minuman keras ( DAMA )
selain itu kitab sutasoma terdapat semboyan bhineka tunggal ika tan hana dharma
mangrua yang mengandung arti meskipun agama itu berbeda bentuk atau sifatnya
tapi hakikatnya tetap satu juga itulah motto lambing Negara kita. Seiring
dengan perubahan system pemerintahan yang menjadi sebuah Negara, pancasila
mulai di runutkan sehingga disepakati bahwa ada lima poin yang di tuangkan.
Pancasila di ambil dari dua kata bahasa jawa kuno yang perta panca artinya adalah lima, dan sila artinya prinsip –
prinsip ini terdiri dari lima prinsip di anggap tidak dapat terpisahkan dan
saling terkait :
1. kepercayaan kepada
Allah satu – satunya ( dalam bahasa Indonesia Yang Maha Esa ketuhanan )
2. kemanusiaan yang
adil dan beradab ( kemanusian dan beradab )
3. persatuan Indonesia
4. kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ( demokrasi
yang di pimpin oleh kebijaksanaan dalam kebulatan suara yang timbul dari
musyawarah antara perwakilan )
5. keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia
1.2
Makna sila – sila pancasila
Arti
dan makna sila ketuhanan yang maha esa
Mengandung arti adanya
kuasa yang dominan (yang mendasar) yaitu ketuhanan yang maha esa, menjamin
penduduk untuk memeluk agama nya masing – masing dan beribadah menurut agamanya,
tidak memaksa warga negara untuk beragama, menjamin berkembang dan tumbuh
suburnya kehidupan beragama, bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini
toleransi ditekankan dalam beribadah menurut kepercayaan agama masing – masing,
Negara memberikan fasilitator dan tumbuh kembang nya agama dan iman warga
Negara dan mediator ketika terjadi konplik agama.
Arti
dan makna sila kemanusiaan yang adil dan beradab
Menempatkan manusia
sesuai hakikatnya sebagai makhluk tuhan, menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai
hak sebagai bangsa, mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
Arti
dan makna sila persatuan Indonesia
Nasionalisme, cinta
bangsa dan tanah air, menggalang kesatuan dan persatuan bangsa, menghilangkan
penonjolan kekuatan atau kekerasan dan medebatkan perbedaan warna kulit,
menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan, mengandung arti adanya kekuatan
dominan ( yang mendasar ) yaitu ketuhanan yang maha esa, menjamin penduduk
untuk memeluk agama nya sesuai dengan kepercayaan yang di anut, tidak memaksa
warga untuk memeluk agama, menjamin berkembang dan tumbuh suburnya keagamaan.
Arti
dan makna sila kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
Hakikat sila ini adalah
Demokrasi, permusyawaratan artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat
baru sesudah itu di adakan tindakan bersama, di dalam memutuskan di perlukan
keputusan dan kejujuran bersama
Arti
dan makna sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Kemakmuran yang merata
bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat, seluruh kekayaan alam dan
sebagainya di gunakan untuk kepentingan bersama menurut potensi masing –
masing, melidungi kelompok warga yang lemah agar masyarakat dapat bekerja
sesuai dengan kemampuan dan bidangnya.
1.3
Sikap positif terhadap nilai – nilai pancasila
Nilai pancasila telah
di yakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia oleh karena itu mengamalkan nya adalah
suatu keharusan bagi bangsa Indonesia.
Sikap positif dalam
mengamalkan nilai – nilai pancasila
Menghormati anggota
keluarga, menghormati orang yang lebih tua, membiasakan hidup hemat, tidak membeda‑bedakan teman, membiasakan musyawarah untuk mufakat, menjalankan
ibadah sesuai dengan agama masing‑ masing,
membantu orang lain sesuai dengan kemampuan sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Tinjauan masalah
2.2 Tinjauan historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan
terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan
keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan
pada dua pengandaian, yakni:
1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru
dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut,
kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal
adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum
terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini,
pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga
belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih
‘alamiah’. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan
Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut
kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan
dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan
mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila
yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu
kebulatan yang utuh.
Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad
Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka
sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4)
Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama
terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir.
Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan
Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan
Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap
gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman
kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian
dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan
sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan
Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A.
Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad
Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar
negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang
kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam
Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara
Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara
(Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945
tersebut, Pancasila dirumuskan secara ‘lebih singkat’ menjadi: 1) Pengakuan
Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5)
Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi
kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis
atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2)
Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan
sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap
berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu
mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa
jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan
kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai
budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada
tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12
Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945.
2.3 Tinjauan yuridis-konstitusional
Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit
disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia
adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo
(1984) bahwa secara yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang
dipergunakan sebagai dasar mengatur-menyelenggarakan pemerintahan negara. …
Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan
Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa, artinya
setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar
Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum
yang berlaku di Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila
sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila,
sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia ‘tunduk’ kepada Pancasila sebagai ‘kekuasaan’ tertinggi.
Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman
untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturan-peraturan
operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh
warga negara.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh
undang-undang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang
mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana
dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “… tetapi sejauh mungkin juga
selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya …” sedemikian rupa sehingga
seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran, pelaksanaan, penerapan
Pancasila.
Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional
secara singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/
sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/
memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum
positif yang pada dasarnya merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan
penerapan Pancasila.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the
founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat
Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup
bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut
sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila
Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional
sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan
pandangan hidup bangsa.
2.4 Tinjauan tentang sifat dasar Pancasila
Secara yuridis konstitusional, Pancasila adalah dasar negara. Namun secara multidimensiona,
ia memiliki berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan esensi dan eksistensinya
sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa
Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia; 4 ) Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber
Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa
Indonesia pada waktu mendirikan Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa
Indonesia; 8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia.
Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan
bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak
bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena mengandung nilai-nilai universal
yang praktis (tidak utopis) serta bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman fungsi Pancasila tersebut merupakan
konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan sistem filsafat
(philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh bangsa
Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau
philosophische gronslaag negara dan atau ideologi negara/ staatside).
Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur
melaksanakan serta mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu
mewaspadai kemungkinan berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila
yang direkayasa demi kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu yang justru
dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu
tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo berdasarkan pengalaman sejarah
bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “… dalam mencari kebenaran Pancasila
sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system tidaklah perlu
sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan apalagi perpecahan.”
BAB III
KESIMPULAN
3.1 PANCASIL SEBAGAI
IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA
3.2 Pengertian
Ideologi
Istilah ideologi
berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Jadi
secara harafiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau
cita-cita. Cita-cita yang dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan
harus dapat dicapai sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan dasar,
pandangan, paham.
Ideologi yang semula
berarti gagasan, ide, cita-cita itu berkembang menjadi suatu paham mengenai
seperangkat nilai atau pemikiran yang oleh seseorang atau sekelompok orang
menjadi suatu pegangan hidup.
Beberapa pengertian
ideologi:
§ A.S. Hornby mengatakan
bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi
dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.
§ Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan
gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang
menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan, dan agama.
§ Gunawan
Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang
manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
§ Frans Magnis
Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang
dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
§ Ideologi
tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya:
merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat;
atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada
masyarakat; isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan
terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang
diajukan dengan mutlak.
§ Ideologi
terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa
nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali
dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus
masyarakat tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja
sehingga tidak langsung operasional.
Fungsi utama ideologi
dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua, yaitu: sebagai tujuan
atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan
sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian
konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Pancasila sebagai
ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan
falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi
terbuka.
Sumber semangat yang
menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan
UUD 1945: “terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar
yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan
yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang
lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya
3.3 Sifat Ideologi
Ada tiga dimensi sifat
ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas.
1.
Dimensi Realitas: nilai yang terkandung dalam dirinya, bersumber
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu
lahir, sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai
dasar itu adalah milik mereka bersama. Pancasila mengandung sifat dimensi
realitas ini dalam dirinya.
2.
Dimensi idealisme: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin
diicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pancasila bukan saja memenuhi dimensi idealisme ini tetapi juga
berkaitan dengan dimensi realitas.
3.
Dimensi fleksibilitas: ideologi itu memberikan penyegaran,
memelihara dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu sehingga bebrsifat
dinamis, demokrastis. Pancasila memiliki dimensi fleksibilitas karena
memelihara, memperkuat relevansinya dari masa ke masa.
3.4 Faktor Pendorong
Keterbukaan Ideologi Pancasila
1. Kenyataan dalam proses pembangunan
nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang
secara cepat.
2. Kenyataan menujukkan bahwa bangkrutnya
ideologi yang tertutup dan beku cenderung
meredupkan perkembangan dirinya.
3. Pengalaman sejarah politik masa
lampau.
4. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan
nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi
dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan
nasional.
3.5 Sekalipun
Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka, namun ada batas-batas keterbukaan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
1. Stabilitas nasional
yang dinamis
2. Larangan terhadap
ideologi marxisme, leninnisme dan komunisme
3. Mencegah
berkembangnya paham liberalisme
4. Larangan terhadap
pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan bermasyarakat
5. Penciptaan
norma-norma baru harus melalui konsensus.
3.6 Makna Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa
1. Makna Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita
normatif bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah
dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah
terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan,
yang ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan.
2. Pancasila
sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif
penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi
sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan
berbagai golongan masyarakat di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar